Meditasi (Part 1) – Kesadaran dalam Pencapaian
Kebahagiaan
“Sebagai manusia kita menderita
karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dan tidak bisa mempertahankan
apa yang sudah kita miliki” – Kalu Rinpoche
Saya tidak
bahagia. Mungkin pernyataan tersebut yang membawa saya mengikuti pelatihan
meditasi selama 7 hari di Vihara Mendut. Berangkat seorang diri dari Jakarta
dengan segudang harapan untuk menemukan kunci jawaban atas pertanyaan yang
bergelut di pikiran saya. Apa tujuan hidup saya? Apakah yang bisa saya lakukan
dengan emosi negatif yang menganggu dan terus muncul? Amarah dan rasa takut
yang tidak bisa saya jelaskan.
Sebelum
membahas lebih dalam, meditasi adalah salah satu cara untuk menggali faktor
positif dalam diri seseorang. Dalam pencapaian kebahagiaan, meditasi bisa
digunakan sebagai alat untuk menyadari dinamika emosi dan pikiran yang dialami
manusia.
Ketika saya
pertama bermeditasi, saya dibimbing oleh Pak Hudoyo. Instruksinya sangat
sederhana: amati pikiran Anda, sadari ke enam indera – penciuman, penglihatan,
peraba, pengecap, pendengaran, dan batin. Ia juga menekankan bahwa selama
meditasi jangan mengharapkan apapun, jangan mengharap menemukan jawaban, jangan
mengharap memperoleh pencerahan, amati saja semua pikiran yang muncul di dalam
batin. Kala itu, saya sudah menyiapkan cangkir kosong saya untuk diisi air,
saya tinggalkan semua harapan dan pencarian. Saya biarkan Pak Hudoyo mengisi
cangkir saya dengan pengalaman baru.
Hari pertama biasanya adalah hari
terberat, begitu juga dengan apa yang saya alami. Kami diharapkan untuk tidak
berkomunikasi sama sekali, menganggap diri berada sendirian di hutan belantara,
handphone pun harus dititipkan. Sehingga yang saya miliki hanyalah diri saya
terisolasi dari dunia. Ternyata ketika kita tidak bicara dan berdiam diri,
suara dalam pikiran sangat terdengar jelas. Bahkan ketika saya berpikir kalau
saya tidak mau berpikir, pikiran mengalir terus menerus tanpa henti! Pikiran
seakan berkudeta, mengambil alih diri saya. Saya tidak bisa mengendalikan
pikiran saya sendiri!
Saya
teringat kutipan Masaru Emoto ‘WE ARE WHAT WE FEEL AND THINK’. Bayangkan
hampir seluruh kehidupan, kita tidak menyadari bahwa kita terus menerus
berpikir tanpa henti! Untung-untung kalau pikiran berbicara hal positif,
bagaimana jika pikiran terus menerus mensugesti diri dengan hal-hal negatif? We
become what we think.
Setelah hari
pertama, saya berhasil menyadari pikiran saya yang terus mengalir. Maka pada
hari kedua muncul emosi-emosi dari kenangan masa lalu, baik emosi positif
maupun negatif. Bercerita sedikit tentang tujuan saya ikut berlatih meditasi,
salah satunya, adalah agar saya bisa mengendalikan emosi saya dengan lebih
baik. Hal-hal kecil dapat membuat saya ‘meledak’. Sehingga tanpa saya sadari
saya menumpuk amarah dan benci. Kembali kepada meditasi, saya menyadari bahwa
saya menolak emosi-emosi negatif dan mencoba mempertahankan emosi positif.
Kenangan bersama dengan mantan kekasih yang membuat saya bahagia, terus
mengembara di pikiran. Padahal saya sudah putus dari dia sejak setahun yang
lalu! Pikiran saya mencoba mempertahankan kenangan tersebut, padahal saya
menderita karena kenangan manis itu sudah berlalu dan tidak akan terulang lagi.
Begitu juga dengan emosi negatif yang muncul, yaitu perasaan bersalah ketika
salah satu binatang peliharaan saya wafat akibat kecerobohan saya sendiri. Pada
saat itu, saya mati-matian menolak emosi negatif tersebut dengan menghibur diri
saya, dengan pembenaran-pembenaran diri. Mekanisme pertahanan yang sangat jelas
mengindikasikan bahwa saya mencoba melarikan diri dari kenyataan. Dalam
menyikapi emosi yang muncul, pembimbing meditasi hanya menasehati ‘amati saja
emosi dan kenangan, sadari tanpa berusaha untuk mempertahankan ataupun
menolak’.
Ajaran Budha mengajarkan bahwa tidak
ada yang kekal. Setiap kesenangan terhadap segala sesuatu tidak akan bertahan
lama. Mungkin kita akan berapi-api ketika mendapatkan promosi jabatan tapi
kesenangan itu pun tidak berlangsung lama. Begitu juga dengan kesedihan, kita
tidak selamanya menangisi kegagalan, tidak lama kita akan segera pulih. Itu
adalah bagian dari ketidak kekalan, seperti juga pikiran yang terus menerus
mengalir. Emosi pun terus mengalir, muncul dan menghilang.
Lalu
bagaimana mekanisme menyadari dan mengamati pikiran menjadi sebuah cara menuju
manajemen emosi? Pak Hudoyo memberikan ilustrasi yang indah: Dengan mengamati
pikiran, kita menyadari berbagai macam pikiran dan emosi. Kita bisa menyadari
emosi, katakanlah, marah sebelum marah itu menjadi besar. Sama seperti api
tidak lah serta merta langsung besar, api disulut oleh api yang kecil. Nah,
dengan menyadari marah sebelum membesar, amarah akan lebih mudah untuk
diredakan. Bagaimana dengan emosi-emosi masa lalu yang selalu datang dan
mengganggu? Emosi itu sudah terlanjur membesar bukan? Pak Hudoyo juga
memberikan tips untuk menangani emosi masa lampau: ‘Silahkan amati dan sadari
jika emosi masa lampau itu muncul, tanpa berusaha untuk menolak. Sadari saja
dan amati perasaan yang silih berganti muncul bersamaan dengan ingatan. Lama
kelamaan seperti foto yang pudar, ingatan masih tetap ada, namun emosi yang
mengganggunya hilang’.
Terus terang
sampai saya menulis artikel ini sekarang, saya belum sepenuhnya merasakan
‘hilangnya’ emosi masa lalu yang telah hinggap cukup lama di batin ini. Tapi
saya bisa merasakan memudarnya emosi, walaupun belum sepenuhnya hilang. Yah,
bisa dimaklumi karena ini adalah pertama kalinya saya berlatih meditasi. Dalam
bukunya yang berjudul Joyful Wisdom: Embracing Change and Finding Freedom,
Yongey Mingyur Rinpoche mengatakan agar kita menjadikan masalah sebagai
penangkal. Dengan kata lain, emosi negatif bukanlah sesuatu yang harus ditakuti
dan dihindari, namun justru dengan ‘berjalan’ bersamanya kita bisa menemukan
kelegaan.
Saya jadi
ingat salah satu kasus hysteria yang dialami pasien Freud bernama Anna O. Anna
O ketika itu menolak untuk minum, entah apa yang menyebabkan dia seperti itu.
Pada sesi hypnosis diketahui bahwa pada suatu hari Anna merasa jijik melihat
seekor anjing minum, setelah Anna berhasil me-recall ingatannya itu, ia dapat
minum secara normal. Sama seperti Anna O, kadang-kadang kita juga memendam
emosi di dalam ketidaksadaran kita. Bahkan kita mencoba menghindar, melarikan
diri, ataupun sekedar melakukan pembenaran diri atas kejadian tertentu. Efek
dari melarikan diri itu ternyata terus terbawa walaupun mungkin tidak lagi
teringat di kesadaran. Ajaran meditasi memberikan solusi alternatif, jauh
sebelum Freud, untuk mengamati pikiran. Yakni, untuk jujur dan menghadapi emosi
serta pikiran yang mengganggu secara langsung.
Singkat
cerita, selama 7 hari saya rasakan latihan meditasi memberikan saya bekal untuk
self-help di dunia nyata, ketika saya dihadapkan dengan berbagai macam masalah
yang membuat saya tidak bahagia dikarenakan pikiran yang mengembara.
Sumber dan
sumber bacaan lebih lanjut:
Posting Komentar