Kebudayaan jawa merupakan suatu kebudayaan yang menganut keselarasan, keseimbangan, dan keselarasan. Hidup dan mati. Manusia dan alam. Semua harus harmonis. Berjalan seiring sejalan.
Dalam kebudayaan jawa, ada pembagian tingkatan sosial dan dibedakan menjadi beberapa tingkatan sosial.
Dan tingkatan sosial dicerminkan dalam bahasa sehari-hari. Bahasa yang kita gunakan kepada lawan bicara mencerminkan tingkat sosial lawan bicara maupun diri kita sendiri. Berbeda tingkat sosialnya, maka bahasa yang digunakan juga akan berbeda. Berikut beberapa tingkatan tersebut :
1. Ngoko : teman sebaya, namun juga bisa untuk orang yang tidak disukai atau keadaan emosi.
2. Ngoko andhap : teman sebaya, keluarga yang masih seumuran.
3. Madhya : untuk lingkungan sosial.
4. Madhyantara : sama dengan madya tetapi untuk kelas yang lebih tinggi.
5. Kromo : untuk orang yang lebih tua.
6. Kromo Inggil : untuk orang tua, dan orang yang merasa kita hormati.
7. Kedhaton : ada yang menyebut kaprajan : hanya untuk kalangan keraton. Dalam keluarga saya menyebutnya untuk “pusat”
Dengan lingkungan asuh yang sedemikian rupa, maka tingkah laku atau kepribadian yang dapat dibentuk antara lain :
1. Melatih sopan santun kepada orang yang lebih tua.
2. Mendorong individu untuk menjaga etika berbicara.
3. Akan terbentuk pribadi yaang feodal. Urusan keluarga diatas segala-galanya. Dan keputusan mutlak diambil oleh kepala keluarga. Yang lain harus “manut”.
4. Dengan lingkungan yang feodal, maka akan terbentuk pribadi yang gampang “ngalah”.
Sebenarnya masih banyak lagi yang dapat dikaji terkait masalah pengaruh kebudayaan terhadap perilaku individu. Dengan dasar “wong jowo pusakane ono ing sabdo” yang dikemukakan oleh Gusti Prabu Herucokro, maka saya membahas pengaruh kebudayaan terhadap perilaku individu dari sudut pandang bahasa/linguistik. Dapat juga disebut dari sudut pandang tingkatan sosial. Karena tingkatan sosial dan tingkatan bahasa berkorelasi.
.jpg)
.jpg)
Posting Komentar