Suku bangsa
yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal
ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang
berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata
pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit
juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong
dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam
adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat
julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim,
nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial
yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak
tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan
fakttor lainnya.
Berkaitan dengan ini, ada hasil penelitian yang menarik berkaitan dengan Aceh dari sejarawan muslim Azyumardi Azra. Menurut Azra, Aceh secara kebudayaan dipengaruhi tradisi Persia.
Beberapa batu nisan dan kubah kuburan yang dipakai para raja Kesultanan Aceh sekitar Abad 15-17 Masehi sangat khas coraknya dengan kubah dan batu nisan yang terdapat di Persia (Iran).
Bahkan tradisi “Kanji Acura” yang diselenggarakan masyarakat muslim Aceh tiap bulan Muharram dan “Basapah” di bulan Shafar adalah warisan dari para sufi dan pedagang muslim dari Persia yang bermahzab syiah.
Mengacu kepada budaya adat Aceh yang sarat
dengan nilai-nilai Islami, maka pada dasarnya, dalam pengembangan budaya adat
berpegang kepada beberapa asas, antara lain:
a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)
b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)
c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)
d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)
e. Panut kepada imam (pemimpin)
f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis
a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)
b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)
c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)
d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong)
e. Panut kepada imam (pemimpin)
f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis
Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok
"asal" di daerah Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus
penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh
tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang
tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah
Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh
Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk
dalam rumpun bahasaAustronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie,
Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula
sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee,
Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan
kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini.
Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut
dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut
diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh patut dipandang sebagai
suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah sub-sukubangsa dengan
identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang mengukuhkan propinsi Aceh
sebagai Daerah Istimewa.
Bahasa yang digunakan orang Aceh
termasuk dalam rumpun bahasaAustronesia yang
terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh,
serta Matang.
Sebagai alat
komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa
Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek
Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan
berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
Dilihat dari
segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa Minangkabau
lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee
dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek Samadua dan dialek Tapak
Tuan.
Bahasa Gayo
digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas
beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek
Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan
Serbejadi.
Orang Tamiang
memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa katanya
mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang
merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh
mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi
oghang. Sementara
itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
Corak kesenian Aceh memang banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati,
seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni
kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah
adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni
sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk
kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang Aneuk
Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur
tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang
seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur
budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang
hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk
kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni teater yang disebut
didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai
fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk
mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada
pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato
berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
[Source]
Posting Komentar